Jumat, 08 Maret 2013

Kerikil dan Debu

Dulu pas zamannya kuliah, punya temen deket, (sekarang pun masih deketnya, heheheh,) namanya Farhani Inesya Putri, kemana-mana berdua, panas2an, mengerjakan semua tugas kuliah sama2, gangguin cowok-cowok kampus, marahan, baikkan, pelukan, tangisan, makan, nonton, pokoknya semua sama, selalu sepaket, ada aku ada dia, ada dia ada aku.
(Kangen kamu Put,)

Kalau aku membadai, dia jadi hujan, yang akan membuat pelangi, dan akan berkata, "tenang Non, itu cuma kerikil, aku dan kamu saja sudah cukup."
Yah Ўªãª yaa, pemikiran kalau semua masalah yang kami hadapi hanyalah kerikil yang bisa membuatku  sampai pada saat ini.
Pemikiran yang sederhana, dan diartikan sederhana.

Sekarang, aku dan Putri berjauh-jauhan, setahun entah berapa kali bertemu.  Aku memiliki teman baru, dan dalam kesehariannya dia menjadi hujan ketika aku membadai, sehingga terlukislah pelangi. "Tenang Non, itu cuma butiran debu." (Istilah butiran debu, memang lagi populer)
Pemikiran yang sederhana, tetapi moderen.

Sebenarnya, segala sesuatu itu tergantung cara kita menyikapinya, ditentukan pemikiran kita. Jika kerikil dan debu diartikan sebagai sesuatu yang sederhana, maka sederhanalah dia,
kerikil n debu pada dasarnya memang tak berharga sehingga tak berarti apa-apa.
Namun, jika diartikan sebagai sesuatu yang kompleks, ingat kerikillah yang membuat kamu terjatuh, bukan batu besar. Debulah yang membuat kamu bersin dan berlanjut menjadi flu, radang pernapasan, TBC dan lain2.

So, berhati-hatilah dengan pikiranmu, “Cognitive Psychology”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar